Tiga Sistem Hukum Wilayah Penjajahan Israel di Palestina dan Suriah

Juli 03, 2025 Add Comment


Konflik berkepanjangan di Palestina dan Israel bukan hanya soal senjata dan politik, tetapi juga soal kekuasaan hukum yang terbelah di berbagai wilayah. Setiap kawasan memiliki sistem peradilan berbeda, tergantung siapa yang berkuasa dan bagaimana status wilayah itu secara politik dan hukum internasional. Di Dataran Tinggi Golan Suriah dan Tepi Barat serta Gaza Palestina, warga yanh dijajah Israel hidup di bawah tiga sistem hukum yang nyaris tak saling terhubung, masing-masing berjalan dengan aturan dan yurisdiksi berbeda.

Dataran Tinggi Golan sejak Perang Enam Hari 1967 secara de facto berada di bawah kontrol Israel. Tahun 1981, Israel secara sepihak mencaplok wilayah itu lewat Golan Heights Law. Sejak saat itu, seluruh urusan hukum di wilayah tersebut ditangani oleh sistem peradilan sipil Israel. Warga Suriah keturunan Druze di Golan berstatus permanent resident Israel, dan tunduk pada pengadilan sipil Israel untuk semua perkara pidana, perdata, hingga administrasi keluarga.

Secara hukum internasional, aneksasi Golan oleh Israel tidak pernah diakui. PBB lewat Resolusi 497 menyatakan tindakan Israel ilegal. Namun dalam praktiknya, Mahkamah Agung Suriah tidak memiliki yurisdiksi apa pun atas Golan. Tidak ada hakim Suriah atau pengadilan nasional yang beroperasi di sana. Semua urusan hukum di kawasan itu sepenuhnya dikelola Israel, termasuk bagi warga yang tetap menolak kewarganegaraan Israel.

Berbeda dengan Golan, situasi di Tepi Barat jauh lebih rumit. Wilayah ini dibagi menjadi tiga zona sesuai Perjanjian Oslo II: Area A, Area B, dan Area C. Area A di bawah kendali penuh Otoritas Palestina, Area B dikendalikan sipil oleh Palestina tapi keamanan oleh Israel-Palestina bersama, sementara Area C sepenuhnya di bawah kendali Israel, termasuk pemukiman Yahudi. Sistem peradilan yang berlaku pun bergantung di mana kasus itu terjadi.

Di Area A dan B, warga Palestina menjalani perkara perdata, pidana, dan keluarga di bawah sistem pengadilan Otoritas Palestina. Mahkamah Sipil dan Mahkamah Syariah Palestina menangani berbagai perkara di wilayah itu. Namun di Area C, warga Palestina yang terlibat perkara pidana atau keamanan biasanya diadili di pengadilan militer Israel, sementara pemukim Yahudi di sana tetap ditangani oleh pengadilan sipil Israel.

Situasi ini menciptakan ketimpangan hukum mencolok di Tepi Barat. Dua warga yang tinggal berdekatan bisa diadili di sistem hukum yang berbeda hanya karena asal etnis dan status kewarganegaraan. Seorang pemuda Palestina di Area C yang melakukan unjuk rasa bisa dibawa ke pengadilan militer Israel, sementara seorang pemukim Yahudi di wilayah yang sama ditangani di pengadilan sipil Israel.

Di Gaza, sejak 2007 pasca konflik antara Fatah dan Hamas, sistem hukum sepenuhnya dikelola pemerintahan Hamas. Otoritas Palestina tidak lagi memiliki kekuasaan peradilan di sana. Semua perkara, mulai dari pidana berat, perdata, hingga keluarga, ditangani oleh pengadilan Hamas. Sistem hukumnya memadukan warisan hukum Ottoman, Mesir, hukum nasional Palestina, dan aturan administrasi internal Hamas.

Tidak ada pengadilan Israel yang beroperasi di Gaza. Namun dalam kasus di mana warga Gaza ditangkap oleh Israel di wilayah Israel atau perbatasan, mereka akan diadili di pengadilan militer Israel. Hal ini berlaku khususnya dalam kasus yang disebut berkaitan dengan keamanan atau aksi perlawanan bersenjata. Di dalam Gaza sendiri, proses peradilan sepenuhnya berjalan di bawah wewenang Hamas.

Mahkamah Agung Palestina yang berbasis di Ramallah hanya memiliki yurisdiksi de jure atas Area A dan B di Tepi Barat. Hamas di Gaza bahkan membentuk Mahkamah Agung sendiri dan sistem peradilan terpisah sejak 2007. Tidak ada relasi administratif atau koordinasi hukum antara kedua institusi ini, membuat sistem hukum Palestina semakin terfragmentasi.

Dualisme peradilan ini memperparah ketidakpastian hukum bagi warga Palestina. Di satu sisi, mereka harus tunduk pada peradilan nasional di Ramallah, sementara di sisi lain, wilayah Gaza tunduk pada peradilan Hamas yang tak terhubung ke pusat. Ketegangan politik antara Fatah dan Hamas pun membuat penyatuan sistem hukum nasional sulit terwujud dalam waktu dekat.

Di sisi Israel, yurisdiksi peradilan untuk pemukim Yahudi di Tepi Barat sepenuhnya berada di bawah pengadilan sipil Israel, termasuk Mahkamah Agung di Yerusalem Barat. Sistem ini berjalan paralel dengan peradilan militer Israel yang khusus menangani warga Palestina di wilayah pendudukan. Kondisi ini memunculkan ketidaksetaraan hukum yang selama ini menjadi sorotan organisasi HAM internasional.

Secara hukum internasional, baik Golan, Tepi Barat, maupun Gaza diakui sebagai wilayah pendudukan. Namun realita politik dan militer membuat sistem peradilan di ketiga kawasan itu berjalan dalam arah yang bertolak belakang. Anehnya, tak ada satu pun lembaga hukum bersama yang bisa menjembatani ketiganya. Masing-masing sistem peradilan berjalan dengan dasar kekuasaan dan kontrol keamanan di wilayahnya.

Ketegangan tiga sistem hukum ini memperumit upaya perdamaian di kawasan. Banyak analis hukum meyakini, tanpa kesepakatan soal tata kelola peradilan, solusi politik di Palestina dan Israel tidak akan sepenuhnya tuntas. Perlu ada mekanisme transisi hukum dan jaminan keadilan setara untuk semua pihak jika ingin rekonsiliasi politik berjalan adil.

Persoalan peradilan di kawasan ini membuktikan bahwa konflik di Palestina bukan hanya soal batas wilayah, tapi juga soal siapa yang berhak menegakkan hukum atas warganya. Selama ketiga sistem hukum ini tidak disatukan atau minimal disinkronkan, ketegangan politik dan hukum di Palestina dan Israel akan terus berlangsung, melampaui soal senjata dan politik diplomasi.