MIlisi Druze Pro Mossad Kibarkan Bendera Israel Usai Pasukan Suriah Mundur dari Suwaida

Juli 18, 2025 Add Comment
Milisi bersenjata Al Hajri yang berasal dari komunitas Druze di wilayah selatan Suriah, Suwaida, dilaporkan mengibarkan bendera Israel di beberapa pos militer setelah pasukan pemerintah Suriah mundur dari wilayah tersebut. 

Peristiwa ini terjadi menyusul serangan udara intensif yang dilancarkan Israel ke Damaskus dan sekitarnya, yang mengakibatkan melemahnya posisi militer Suriah di sejumlah titik strategis. Aksi pengibaran bendera tersebut dinilai sebagai bentuk dukungan terbuka milisi tersebut terhadap intervensi Israel, sekaligus menunjukkan ketegangan internal yang semakin membesar di tengah krisis Suriah.

Pengamat regional menilai bahwa langkah milisi Aal Hajri itu berpotensi memperkeruh situasi, sebab dapat ditafsirkan sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan nasional Suriah.

Meskipun kelompok Druze selama ini dikenal menjaga netralitas atau bahkan mendukung pemerintahan pusat, namun tindakan sebagian kecil kelompok seperti Aal Hajri dinilai sebagai respons terhadap ketidakpuasan mereka terhadap perlindungan yang diberikan Damaskus.

Pengibaran bendera Israel juga memicu kecaman luas dari berbagai faksi nasionalis dan sekuler Suriah yang menilai tindakan tersebut sebagai langkah provokatif dan berbahaya di tengah meningkatnya agresi Israel.

Meski tidak semua warga Druze pro Israel, Milisi Al Hajri diyakini main mata dengan intelijen Israel untuk membuat kekacauan. Dimulai dengan penculikan warga Arab Badui untuk memancing konflik sektarian lalu melakukan pembantain ketika warga Badui melakukan pembalasan.

Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kembali menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap perkembangan terbaru di Suriah, terutama yang berkaitan dengan serangan Israel.

Dalam pernyataan yang disampaikan usai rapat mingguan kabinetnya, Erdogan menegaskan bahwa Turki mengikuti secara seksama setiap dinamika yang terjadi di negara tetangganya itu. Ia menyebut bahwa agresi Israel ke wilayah Suriah kini menjadi masalah terbesar yang dihadapi kawasan.

Erdogan mengungkapkan bahwa lembaga-lembaga terkait di Turki terus menjalin komunikasi intensif dengan mitra mereka di Suriah. Ia juga mengecam langkah Israel yang menurutnya memperluas aksi kekerasan dengan dalih melindungi komunitas Druze. Presiden Turki itu menilai tindakan tersebut tidak lebih dari dalih semata untuk melakukan ekspansi dan memperkeruh situasi regional.

Dalam pernyataannya yang disiarkan secara langsung di televisi nasional Turki, Erdogan memperingatkan pihak-pihak yang berpihak kepada Israel. Ia menekankan bahwa siapa pun yang bergantung pada kekuatan Israel akan menyadari kesalahan besar yang mereka buat, cepat atau lambat. Menurut Erdogan, pendekatan semacam itu hanya akan memperburuk ketegangan dan memperpanjang penderitaan rakyat Suriah.

Erdogan juga menyampaikan bahwa stabilitas di Suriah bukan hanya penting bagi rakyat Suriah, tetapi juga bagi seluruh negara yang berbatasan langsung dengannya. Ia mengingatkan bahwa jika Suriah gagal bangkit dan stabil, maka seluruh kawasan akan menanggung akibatnya, baik secara ekonomi maupun politik.

Pernyataan Erdogan muncul di tengah kekhawatiran meningkatnya campur tangan asing di wilayah Suriah, terutama setelah sejumlah serangan udara dilaporkan terjadi di wilayah selatan dan barat negara tersebut. Serangan itu diduga kuat dilakukan oleh Israel, yang mengklaim menargetkan posisi milisi bersenjata yang dianggap mengancam keamanan nasionalnya.

Namun menurut Erdogan, retorika perlindungan Israel terhadap kelompok Druze hanyalah topeng belaka. Ia mengatakan bahwa motif sebenarnya adalah memperluas dominasi militer dan politik di kawasan. Erdogan juga menyoroti bahwa Israel tidak pernah sungguh-sungguh peduli terhadap keberlangsungan komunitas lokal di Suriah.

Turki, kata Erdogan, tetap konsisten dalam kebijakannya untuk mendukung integritas wilayah Suriah. Ia menegaskan bahwa Ankara tidak pernah menyetujui, dan tidak akan pernah mendukung, segala bentuk upaya pemisahan atau pembentukan entitas politik baru di dalam wilayah Suriah.

Lebih lanjut, Presiden Erdogan menekankan pentingnya menjaga identitas Suriah sebagai negara multikultural. Ia menyatakan bahwa pluralisme budaya dan etnis di Suriah merupakan kekuatan, bukan kelemahan. Oleh karena itu, Turki akan terus mendukung segala upaya damai yang menjamin kedaulatan dan keutuhan bangsa Suriah.

Dalam kesempatan itu, Erdogan juga menyinggung soal pentingnya diplomasi. Ia mengklaim bahwa Turki menjalankan kebijakan luar negeri yang berorientasi pada perdamaian, dan akan terus aktif menjembatani dialog antara berbagai pihak di kawasan yang tengah berselisih.

Presiden Erdogan menyatakan optimisme bahwa Suriah pada akhirnya akan mampu keluar dari krisis ini, asalkan kepemimpinannya tetap solid. Secara khusus, ia menyebut peran Presiden Ahmad Al-Sharaa sebagai tokoh kunci dalam menjaga arah dan stabilitas politik di Suriah di tengah badai konflik yang terus berlangsung.

Pernyataan ini menjadi salah satu bentuk dukungan terbuka dari Erdogan terhadap pemerintahan Damaskus, sekaligus menandai babak baru dalam hubungan bilateral Ankara-Damaskus yang selama bertahun-tahun mengalami pasang surut.

Sejumlah analis menilai bahwa sikap Erdogan kali ini menunjukkan adanya pergeseran penting dalam kebijakan luar negeri Turki terhadap Suriah, terutama dalam konteks meningkatnya ancaman Israel yang semakin aktif beroperasi di wilayah udara Suriah.

Walau demikian, Erdogan tidak menyebut secara eksplisit apakah Turki akan mengambil langkah militer jika ketegangan meningkat. Namun penekanannya pada pentingnya stabilitas kawasan bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Turki siap memainkan peran lebih besar di masa depan.

Beberapa pihak di Ankara menilai bahwa agresi Israel terhadap Suriah tidak hanya merusak infrastruktur militer, tetapi juga mencederai upaya perdamaian regional yang selama ini diperjuangkan sejumlah negara.

Sementara itu, respons dari pihak Suriah sendiri belum banyak disampaikan secara resmi, namun sejumlah media pemerintah menyambut positif pernyataan Erdogan dan menyebutnya sebagai bentuk solidaritas terhadap bangsa Suriah.

Situasi di lapangan sendiri masih belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Sejumlah ledakan dilaporkan terjadi di wilayah Daraa dan Sweida, sementara jet-jet tempur Israel dikabarkan terus melakukan patroli di wilayah udara perbatasan.

Dengan eskalasi ini, masyarakat internasional dihadapkan pada dilema baru: bagaimana menanggapi agresi Israel tanpa memperburuk kondisi keamanan regional. Erdogan, dalam pernyataan terakhirnya, menyerukan kepada negara-negara sahabat untuk tidak diam dan bersama-sama menolak segala bentuk pelanggaran hukum internasional.

Dukungan Erdogan terhadap Suriah dapat menjadi titik balik dalam dinamika politik kawasan. Meski masih banyak rintangan yang harus dihadapi, namun pernyataan tegas pemimpin Turki itu memperjelas satu hal: bahwa Suriah tidak sendiri dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatannya.

Baca selanjutnya


Kitab Taftazani, Warisan Akidah Nusantara yang Terlupa

Juli 07, 2025 Add Comment


Sejak ratusan tahun lalu, dunia pesantren Nusantara telah mengenal kitab-kitab teologi Islam klasik yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Salah satu kitab paling berpengaruh di kalangan ulama tradisional Nusantara adalah Syarḥ al-‘Aqāid an-Nasafiyyah, karya ulama besar Persia, Sa‘d ad-Din Mas‘ud at-Taftazani. Kitab ini telah lama menjadi standar dalam kajian ilmu kalam di berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, hingga Pattani, bahkan sejak abad ke-17.

Kitab ini sejatinya merupakan penjelasan mendalam terhadap matan al-‘Aqāid al-Nasafiyyah, karya Imam an-Nasafi, yang ringkas tapi padat dalam membahas dasar-dasar akidah Sunni. Sa‘d ad-Din Taftazani, ulama kelahiran kota Taftazan di Khurasan, menyusun syarahnya dengan gaya bahasa logis, sistematis, dan menggunakan argumentasi rasional berbasis logika filsafat Aristotelian. Hal ini menjadikan kitab Syarḥ al-‘Aqāid bukan sekadar teks keagamaan, melainkan juga karya intelektual yang memadukan wahyu dan akal.

Di pesantren-pesantren Nusantara, kitab Taftazani ini menjadi pedoman utama dalam memahami konsep-konsep penting dalam ilmu teologi. Mulai dari pembahasan tentang sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah, hingga konsep takdir, kehendak, perbuatan manusia, serta definisi iman dan kedudukan para sahabat Nabi. Bahkan kitab ini menjadi benteng utama dalam menghadapi berbagai paham ekstrem seperti Mu’tazilah, Jabariyah, hingga aliran modern yang menolak sebagian konsep Asy‘ariyah.

Keunggulan kitab ini terletak pada kemampuannya menjelaskan dalil akal dan dalil naqli secara seimbang. Taftazani tidak hanya menyodorkan ayat-ayat dan hadits, tapi juga melengkapinya dengan argumentasi logika yang kokoh. Ia membuktikan sifat wajib Allah misalnya, dengan dalil keberadaan yang niscaya, mustahilnya ketiadaan, dan kemustahilan adanya sifat-sifat kekurangan pada Zat Ilahi. Di dunia pesantren, kemampuan memahami logika akidah seperti ini menjadi ukuran kelulusan santri tingkat senior.

Di Minangkabau dan Aceh, meskipun para ulama klasiknya tidak secara formal menggunakan nisbah “Taftazani” sebagai gelar, namun kitab ini tetap menjadi materi wajib di surau-surau dan pesantren tarekat. Surau Ulakan di Pariaman, tempat Syekh Burhanuddin menyebarkan Syattariyah, dan Surau Lubuk Ipuh di Painan, telah lama mengajarkan Syarḥ al-‘Aqāid. Begitu juga di Aceh, kitab ini menjadi rujukan penting sejak era Syekh Abdurrauf Singkil.

Tradisi pesantren Jawa sedikit berbeda. Di sini, ulama yang ahli atau sering mengajarkan kitab ini kadang dijuluki “Taftazani” sebagai gelar kehormatan. Salah satunya adalah Kiai Taftazani Mlangi, Sleman, yang dikenal sebagai guru Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Dalam tradisi lisan pesantren Yogyakarta, disebutkan bahwa Kiai Taftazani berasal dari Minangkabau sebelum menetap di Mlangi, meski hal ini belum didukung catatan tertulis resmi.

Peran Kiai Taftazani Mlangi sangat penting dalam membangun akidah pesantren Jawa. Ia bukan hanya pengajar kitab-kitab Tauhid, tetapi juga pembimbing spiritual dan penasihat keluarga keraton Yogyakarta. Karyanya dalam membentengi masyarakat dari paham ekstrem tercermin dari kuatnya tradisi Asy‘ariyah di lingkungan keraton hingga masa Pangeran Diponegoro. Bahkan banyak pesantren salafiyah di sekitar Yogyakarta yang hingga kini masih mempertahankan kurikulum kitab Syarḥ al-‘Aqāid.

Kitab Taftazani ini bukan hanya terkenal di Nusantara. Di Timur Tengah, karya Sa‘d ad-Din Taftazani pernah menjadi teks standar di madrasah-madrasah besar seperti di Herat, Samarkand, dan Baghdad. Bahkan, Taftazani disebut sebagai guru teologi yang dihormati oleh Timur Lenk, penakluk Asia Tengah abad ke-14. Timur Lenk, yang juga Sunni Hanafi, sangat menghargai pemikiran Taftazani dalam menyatukan rasionalitas dan ajaran Ahlussunnah.

Dalam sejarahnya, Timur Lenk dikenal mengumpulkan para ulama terbaik di wilayah kekuasaannya untuk memperkuat legitimasi politik dan agama. Sa‘d ad-Din Taftazani termasuk di antaranya. Bahkan beberapa sumber menyebutkan, kitab-kitab Taftazani menjadi pegangan di istana Samarkand dan dipelajari oleh para wazir dan mufti di bawah kekuasaan Timur. Hal ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh pemikiran Taftazani dalam dunia Islam, bukan hanya sebagai akademisi, tapi juga penasihat politik dan agama.

Di Nusantara sendiri, warisan Taftazani tak hanya dalam bidang tauhid. Karya balaghahnya, Mukhtashar al-Ma’ani, juga menjadi kurikulum wajib pesantren. Kitab ini membahas seni retorika dan keindahan bahasa Arab, serta sering dipelajari bersama Syarḥ al-‘Aqāid. Santri senior yang menguasai kedua kitab ini umumnya disebut ahli kalam dan balaghah, dua disiplin keilmuan yang sangat dihormati.

Kelebihan kitab Syarḥ al-‘Aqāid lainnya adalah kemampuannya menghadirkan debat antara berbagai mazhab kalam secara adil. Taftazani memaparkan pendapat Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Khawarij, lalu membantahnya dengan argumen akal dan naql yang kokoh. Pola seperti ini membentuk karakter santri pesantren klasik Nusantara yang kritis namun tetap kokoh dalam akidah Ahlussunnah.

Sampai saat ini, di pesantren-pesantren salafiyah seperti Krapyak, Tremas, Ploso, dan Sidogiri, kitab ini masih dipertahankan. Biasanya diajarkan di kelas tingkat akhir atau khusus santri senior, karena memerlukan dasar logika dan tauhid yang matang. Bahkan di beberapa pesantren Minangkabau yang masih bertahan, seperti Surau Baru di Pariaman, kitab ini tetap dibaca dalam halaqah malam Ramadan.

Selain Syarḥ al-‘Aqāid, kitab-kitab pendamping seperti Umm al-Barahin, al-Jawharah at-Tauhid, dan al-Mawaqif juga diajarkan untuk memperkuat pemahaman teologi. Kitab-kitab logika seperti Sullam al-Munawraq dan Isaghuji menjadi prasyarat bagi santri sebelum masuk ke Syarḥ al-‘Aqāid. Tradisi pendidikan ini bertahan sebagai warisan intelektual Islam Nusantara yang kaya.

Meski kini banyak pesantren modern mulai meninggalkan kitab-kitab kalam klasik, sejumlah pesantren salaf tetap mempertahankannya. Mereka menganggap bahwa Syarḥ al-‘Aqāid bukan hanya teks teologi, melainkan benteng akidah Asy‘ariyah yang telah menjaga umat Islam Nusantara dari berbagai paham sesat sepanjang sejarah. Di tengah gelombang modernisasi, kitab ini masih berdiri tegak di rak-rak pesantren klasik.

Kini, para sejarawan dan akademisi mulai meneliti kembali peran kitab-kitab seperti Syarḥ al-‘Aqāid dalam membentuk karakter ulama Nusantara. Beberapa skripsi dan disertasi telah mengangkatnya, membuktikan bahwa tradisi teologi rasional dan moderat yang diwariskan Taftazani layak dihidupkan kembali. Warisan pemikiran ini tidak hanya penting bagi dunia pesantren, tetapi juga bagi masa depan Islam Nusantara yang santun, logis, dan kokoh dalam akidah.


Baca selanjutnya

Tiga Sistem Hukum Wilayah Penjajahan Israel di Palestina dan Suriah

Juli 03, 2025 Add Comment


Konflik berkepanjangan di Palestina dan Israel bukan hanya soal senjata dan politik, tetapi juga soal kekuasaan hukum yang terbelah di berbagai wilayah. Setiap kawasan memiliki sistem peradilan berbeda, tergantung siapa yang berkuasa dan bagaimana status wilayah itu secara politik dan hukum internasional. Di Dataran Tinggi Golan Suriah dan Tepi Barat serta Gaza Palestina, warga yanh dijajah Israel hidup di bawah tiga sistem hukum yang nyaris tak saling terhubung, masing-masing berjalan dengan aturan dan yurisdiksi berbeda.

Dataran Tinggi Golan sejak Perang Enam Hari 1967 secara de facto berada di bawah kontrol Israel. Tahun 1981, Israel secara sepihak mencaplok wilayah itu lewat Golan Heights Law. Sejak saat itu, seluruh urusan hukum di wilayah tersebut ditangani oleh sistem peradilan sipil Israel. Warga Suriah keturunan Druze di Golan berstatus permanent resident Israel, dan tunduk pada pengadilan sipil Israel untuk semua perkara pidana, perdata, hingga administrasi keluarga.

Secara hukum internasional, aneksasi Golan oleh Israel tidak pernah diakui. PBB lewat Resolusi 497 menyatakan tindakan Israel ilegal. Namun dalam praktiknya, Mahkamah Agung Suriah tidak memiliki yurisdiksi apa pun atas Golan. Tidak ada hakim Suriah atau pengadilan nasional yang beroperasi di sana. Semua urusan hukum di kawasan itu sepenuhnya dikelola Israel, termasuk bagi warga yang tetap menolak kewarganegaraan Israel.

Berbeda dengan Golan, situasi di Tepi Barat jauh lebih rumit. Wilayah ini dibagi menjadi tiga zona sesuai Perjanjian Oslo II: Area A, Area B, dan Area C. Area A di bawah kendali penuh Otoritas Palestina, Area B dikendalikan sipil oleh Palestina tapi keamanan oleh Israel-Palestina bersama, sementara Area C sepenuhnya di bawah kendali Israel, termasuk pemukiman Yahudi. Sistem peradilan yang berlaku pun bergantung di mana kasus itu terjadi.

Di Area A dan B, warga Palestina menjalani perkara perdata, pidana, dan keluarga di bawah sistem pengadilan Otoritas Palestina. Mahkamah Sipil dan Mahkamah Syariah Palestina menangani berbagai perkara di wilayah itu. Namun di Area C, warga Palestina yang terlibat perkara pidana atau keamanan biasanya diadili di pengadilan militer Israel, sementara pemukim Yahudi di sana tetap ditangani oleh pengadilan sipil Israel.

Situasi ini menciptakan ketimpangan hukum mencolok di Tepi Barat. Dua warga yang tinggal berdekatan bisa diadili di sistem hukum yang berbeda hanya karena asal etnis dan status kewarganegaraan. Seorang pemuda Palestina di Area C yang melakukan unjuk rasa bisa dibawa ke pengadilan militer Israel, sementara seorang pemukim Yahudi di wilayah yang sama ditangani di pengadilan sipil Israel.

Di Gaza, sejak 2007 pasca konflik antara Fatah dan Hamas, sistem hukum sepenuhnya dikelola pemerintahan Hamas. Otoritas Palestina tidak lagi memiliki kekuasaan peradilan di sana. Semua perkara, mulai dari pidana berat, perdata, hingga keluarga, ditangani oleh pengadilan Hamas. Sistem hukumnya memadukan warisan hukum Ottoman, Mesir, hukum nasional Palestina, dan aturan administrasi internal Hamas.

Tidak ada pengadilan Israel yang beroperasi di Gaza. Namun dalam kasus di mana warga Gaza ditangkap oleh Israel di wilayah Israel atau perbatasan, mereka akan diadili di pengadilan militer Israel. Hal ini berlaku khususnya dalam kasus yang disebut berkaitan dengan keamanan atau aksi perlawanan bersenjata. Di dalam Gaza sendiri, proses peradilan sepenuhnya berjalan di bawah wewenang Hamas.

Mahkamah Agung Palestina yang berbasis di Ramallah hanya memiliki yurisdiksi de jure atas Area A dan B di Tepi Barat. Hamas di Gaza bahkan membentuk Mahkamah Agung sendiri dan sistem peradilan terpisah sejak 2007. Tidak ada relasi administratif atau koordinasi hukum antara kedua institusi ini, membuat sistem hukum Palestina semakin terfragmentasi.

Dualisme peradilan ini memperparah ketidakpastian hukum bagi warga Palestina. Di satu sisi, mereka harus tunduk pada peradilan nasional di Ramallah, sementara di sisi lain, wilayah Gaza tunduk pada peradilan Hamas yang tak terhubung ke pusat. Ketegangan politik antara Fatah dan Hamas pun membuat penyatuan sistem hukum nasional sulit terwujud dalam waktu dekat.

Di sisi Israel, yurisdiksi peradilan untuk pemukim Yahudi di Tepi Barat sepenuhnya berada di bawah pengadilan sipil Israel, termasuk Mahkamah Agung di Yerusalem Barat. Sistem ini berjalan paralel dengan peradilan militer Israel yang khusus menangani warga Palestina di wilayah pendudukan. Kondisi ini memunculkan ketidaksetaraan hukum yang selama ini menjadi sorotan organisasi HAM internasional.

Secara hukum internasional, baik Golan, Tepi Barat, maupun Gaza diakui sebagai wilayah pendudukan. Namun realita politik dan militer membuat sistem peradilan di ketiga kawasan itu berjalan dalam arah yang bertolak belakang. Anehnya, tak ada satu pun lembaga hukum bersama yang bisa menjembatani ketiganya. Masing-masing sistem peradilan berjalan dengan dasar kekuasaan dan kontrol keamanan di wilayahnya.

Ketegangan tiga sistem hukum ini memperumit upaya perdamaian di kawasan. Banyak analis hukum meyakini, tanpa kesepakatan soal tata kelola peradilan, solusi politik di Palestina dan Israel tidak akan sepenuhnya tuntas. Perlu ada mekanisme transisi hukum dan jaminan keadilan setara untuk semua pihak jika ingin rekonsiliasi politik berjalan adil.

Persoalan peradilan di kawasan ini membuktikan bahwa konflik di Palestina bukan hanya soal batas wilayah, tapi juga soal siapa yang berhak menegakkan hukum atas warganya. Selama ketiga sistem hukum ini tidak disatukan atau minimal disinkronkan, ketegangan politik dan hukum di Palestina dan Israel akan terus berlangsung, melampaui soal senjata dan politik diplomasi.