Kitab Taftazani, Warisan Akidah Nusantara yang Terlupa

Juli 07, 2025


Sejak ratusan tahun lalu, dunia pesantren Nusantara telah mengenal kitab-kitab teologi Islam klasik yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Salah satu kitab paling berpengaruh di kalangan ulama tradisional Nusantara adalah Syarḥ al-‘Aqāid an-Nasafiyyah, karya ulama besar Persia, Sa‘d ad-Din Mas‘ud at-Taftazani. Kitab ini telah lama menjadi standar dalam kajian ilmu kalam di berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, hingga Pattani, bahkan sejak abad ke-17.

Kitab ini sejatinya merupakan penjelasan mendalam terhadap matan al-‘Aqāid al-Nasafiyyah, karya Imam an-Nasafi, yang ringkas tapi padat dalam membahas dasar-dasar akidah Sunni. Sa‘d ad-Din Taftazani, ulama kelahiran kota Taftazan di Khurasan, menyusun syarahnya dengan gaya bahasa logis, sistematis, dan menggunakan argumentasi rasional berbasis logika filsafat Aristotelian. Hal ini menjadikan kitab Syarḥ al-‘Aqāid bukan sekadar teks keagamaan, melainkan juga karya intelektual yang memadukan wahyu dan akal.

Di pesantren-pesantren Nusantara, kitab Taftazani ini menjadi pedoman utama dalam memahami konsep-konsep penting dalam ilmu teologi. Mulai dari pembahasan tentang sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah, hingga konsep takdir, kehendak, perbuatan manusia, serta definisi iman dan kedudukan para sahabat Nabi. Bahkan kitab ini menjadi benteng utama dalam menghadapi berbagai paham ekstrem seperti Mu’tazilah, Jabariyah, hingga aliran modern yang menolak sebagian konsep Asy‘ariyah.

Keunggulan kitab ini terletak pada kemampuannya menjelaskan dalil akal dan dalil naqli secara seimbang. Taftazani tidak hanya menyodorkan ayat-ayat dan hadits, tapi juga melengkapinya dengan argumentasi logika yang kokoh. Ia membuktikan sifat wajib Allah misalnya, dengan dalil keberadaan yang niscaya, mustahilnya ketiadaan, dan kemustahilan adanya sifat-sifat kekurangan pada Zat Ilahi. Di dunia pesantren, kemampuan memahami logika akidah seperti ini menjadi ukuran kelulusan santri tingkat senior.

Di Minangkabau dan Aceh, meskipun para ulama klasiknya tidak secara formal menggunakan nisbah “Taftazani” sebagai gelar, namun kitab ini tetap menjadi materi wajib di surau-surau dan pesantren tarekat. Surau Ulakan di Pariaman, tempat Syekh Burhanuddin menyebarkan Syattariyah, dan Surau Lubuk Ipuh di Painan, telah lama mengajarkan Syarḥ al-‘Aqāid. Begitu juga di Aceh, kitab ini menjadi rujukan penting sejak era Syekh Abdurrauf Singkil.

Tradisi pesantren Jawa sedikit berbeda. Di sini, ulama yang ahli atau sering mengajarkan kitab ini kadang dijuluki “Taftazani” sebagai gelar kehormatan. Salah satunya adalah Kiai Taftazani Mlangi, Sleman, yang dikenal sebagai guru Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro. Dalam tradisi lisan pesantren Yogyakarta, disebutkan bahwa Kiai Taftazani berasal dari Minangkabau sebelum menetap di Mlangi, meski hal ini belum didukung catatan tertulis resmi.

Peran Kiai Taftazani Mlangi sangat penting dalam membangun akidah pesantren Jawa. Ia bukan hanya pengajar kitab-kitab Tauhid, tetapi juga pembimbing spiritual dan penasihat keluarga keraton Yogyakarta. Karyanya dalam membentengi masyarakat dari paham ekstrem tercermin dari kuatnya tradisi Asy‘ariyah di lingkungan keraton hingga masa Pangeran Diponegoro. Bahkan banyak pesantren salafiyah di sekitar Yogyakarta yang hingga kini masih mempertahankan kurikulum kitab Syarḥ al-‘Aqāid.

Kitab Taftazani ini bukan hanya terkenal di Nusantara. Di Timur Tengah, karya Sa‘d ad-Din Taftazani pernah menjadi teks standar di madrasah-madrasah besar seperti di Herat, Samarkand, dan Baghdad. Bahkan, Taftazani disebut sebagai guru teologi yang dihormati oleh Timur Lenk, penakluk Asia Tengah abad ke-14. Timur Lenk, yang juga Sunni Hanafi, sangat menghargai pemikiran Taftazani dalam menyatukan rasionalitas dan ajaran Ahlussunnah.

Dalam sejarahnya, Timur Lenk dikenal mengumpulkan para ulama terbaik di wilayah kekuasaannya untuk memperkuat legitimasi politik dan agama. Sa‘d ad-Din Taftazani termasuk di antaranya. Bahkan beberapa sumber menyebutkan, kitab-kitab Taftazani menjadi pegangan di istana Samarkand dan dipelajari oleh para wazir dan mufti di bawah kekuasaan Timur. Hal ini menunjukkan betapa luasnya pengaruh pemikiran Taftazani dalam dunia Islam, bukan hanya sebagai akademisi, tapi juga penasihat politik dan agama.

Di Nusantara sendiri, warisan Taftazani tak hanya dalam bidang tauhid. Karya balaghahnya, Mukhtashar al-Ma’ani, juga menjadi kurikulum wajib pesantren. Kitab ini membahas seni retorika dan keindahan bahasa Arab, serta sering dipelajari bersama Syarḥ al-‘Aqāid. Santri senior yang menguasai kedua kitab ini umumnya disebut ahli kalam dan balaghah, dua disiplin keilmuan yang sangat dihormati.

Kelebihan kitab Syarḥ al-‘Aqāid lainnya adalah kemampuannya menghadirkan debat antara berbagai mazhab kalam secara adil. Taftazani memaparkan pendapat Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Khawarij, lalu membantahnya dengan argumen akal dan naql yang kokoh. Pola seperti ini membentuk karakter santri pesantren klasik Nusantara yang kritis namun tetap kokoh dalam akidah Ahlussunnah.

Sampai saat ini, di pesantren-pesantren salafiyah seperti Krapyak, Tremas, Ploso, dan Sidogiri, kitab ini masih dipertahankan. Biasanya diajarkan di kelas tingkat akhir atau khusus santri senior, karena memerlukan dasar logika dan tauhid yang matang. Bahkan di beberapa pesantren Minangkabau yang masih bertahan, seperti Surau Baru di Pariaman, kitab ini tetap dibaca dalam halaqah malam Ramadan.

Selain Syarḥ al-‘Aqāid, kitab-kitab pendamping seperti Umm al-Barahin, al-Jawharah at-Tauhid, dan al-Mawaqif juga diajarkan untuk memperkuat pemahaman teologi. Kitab-kitab logika seperti Sullam al-Munawraq dan Isaghuji menjadi prasyarat bagi santri sebelum masuk ke Syarḥ al-‘Aqāid. Tradisi pendidikan ini bertahan sebagai warisan intelektual Islam Nusantara yang kaya.

Meski kini banyak pesantren modern mulai meninggalkan kitab-kitab kalam klasik, sejumlah pesantren salaf tetap mempertahankannya. Mereka menganggap bahwa Syarḥ al-‘Aqāid bukan hanya teks teologi, melainkan benteng akidah Asy‘ariyah yang telah menjaga umat Islam Nusantara dari berbagai paham sesat sepanjang sejarah. Di tengah gelombang modernisasi, kitab ini masih berdiri tegak di rak-rak pesantren klasik.

Kini, para sejarawan dan akademisi mulai meneliti kembali peran kitab-kitab seperti Syarḥ al-‘Aqāid dalam membentuk karakter ulama Nusantara. Beberapa skripsi dan disertasi telah mengangkatnya, membuktikan bahwa tradisi teologi rasional dan moderat yang diwariskan Taftazani layak dihidupkan kembali. Warisan pemikiran ini tidak hanya penting bagi dunia pesantren, tetapi juga bagi masa depan Islam Nusantara yang santun, logis, dan kokoh dalam akidah.


Baca selanjutnya

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »