Kepulangan para pengungsi Suriah ke desa asal mereka yang hancur lebur semestinya menjadi akhir dari penderitaan panjang. Namun kenyataannya, bagi penduduk Al-Mansoura di pedesaan Hama, pulang justru menjadi babak baru dari sebuah bencana kemanusiaan yang belum berakhir. Setelah bertahun-tahun hidup di kamp pengungsian, mereka mendapati rumah-rumah mereka lenyap, infrastruktur porak-poranda, dan kehidupan nyaris mustahil dilanjutkan.
Di desa itu, lebih dari 150 keluarga kini hidup di tengah reruntuhan. Mereka kembali dengan harapan membangun kembali kehidupan, namun yang mereka temui hanyalah puing-puing dan keheningan. Setengah tahun sudah berlalu sejak sebagian besar dari mereka kembali, tetapi tak ada alat berat, tak ada tim rekonstruksi, dan tak ada tanda-tanda pemulihan. Puing-puing masih menumpuk di mana-mana, menjadi saksi bisu dari perang yang menghancurkan.
Penduduk Al-Mansoura mengaku tidak mendapatkan tanggapan sedikit pun dari pihak berwenang. Baik pemerintah maupun organisasi kemanusiaan yang semestinya menjadi tumpuan, seakan menutup mata. Padahal, kebutuhan dasar mereka sangat mendesak — air bersih, listrik, sanitasi, dan tempat tinggal yang layak.
Hidup di atas tumpukan puing rumah sendiri menjadi kenyataan pahit bagi para pengungsi yang pulang. Sebagian besar keluarga kini tinggal di tenda-tenda yang sudah lapuk, bahkan ada yang telah berusia lebih dari satu dekade. Tenda-tenda itu dulu mereka bawa dari kamp pengungsian, kini kembali ditegakkan — bukan di padang pasir, tetapi di halaman rumah mereka yang sudah rata dengan tanah.
Di tengah reruntuhan itu, anak-anak berlarian tanpa alas kaki. Sekolah mereka belum berfungsi sejak tahun ajaran baru dimulai. Bangunan sekolah rusak parah, sementara guru dan fasilitas belum kembali. Ketika musim dingin mendekat, para orang tua hanya bisa memandangi anak-anak mereka dengan cemas, khawatir mereka akan jatuh sakit di tenda yang bocor dan tanpa pemanas.
Kekurangan air bersih menjadi masalah terbesar. Sumber air yang dulu menopang kehidupan desa kini tak lagi berfungsi. Pipa-pipa rusak, dan jaringan pembuangan limbah lenyap tanpa bekas. Penduduk terpaksa menggali sumur dangkal atau berjalan jauh hanya untuk mendapatkan beberapa ember air.
Listrik pun tak kunjung menyala. Malam di Al-Mansoura diselimuti kegelapan pekat. Lampu-lampu kecil bertenaga baterai menjadi satu-satunya cahaya yang tersisa. Di tenda-tenda itu, keluarga duduk berdesakan menghangatkan diri, menatap kosong masa depan yang kian suram.
Ironisnya, banyak pengungsi yang memilih pulang karena percaya bahwa kamp pengungsian bukan lagi tempat yang layak. Namun mereka tidak menyangka bahwa kepulangan itu justru mengantarkan mereka ke situasi yang lebih buruk. Hidup di kamp memang keras, tapi setidaknya di sana masih ada bantuan pangan dan tenda yang layak. Di Al-Mansoura, mereka bahkan harus berjuang sendiri untuk sekadar bertahan hidup.
Ketiadaan bantuan internasional di wilayah tersebut menambah penderitaan. Komite komunitas lokal telah berulang kali mengajukan permohonan bantuan kepada lembaga kemanusiaan yang masih beroperasi di Hama, namun tidak ada satu pun yang merespons. Mereka seolah ditinggalkan di antara reruntuhan sejarah dan kebijakan yang gagal.
Pertanyaan besar pun muncul: mengapa para pengungsi dibiarkan pulang jika daerah mereka belum siap dihuni? Tanpa rekonstruksi, kepulangan bukanlah solusi — melainkan jebakan. Banyak lembaga kemanusiaan sebenarnya memperingatkan hal ini sejak lama, bahwa “kembali tanpa rumah” hanya akan memperpanjang penderitaan.
Bagi sebagian keluarga, keputusan untuk pulang adalah hasil keputusasaan. Kehidupan di kamp yang padat, kekurangan makanan, dan minimnya privasi membuat mereka ingin kembali ke tanah kelahiran mereka, apapun risikonya. Tapi setiba di sana, yang mereka hadapi adalah reruntuhan kehidupan yang tak bisa mereka perbaiki sendiri.
Minimnya perhatian terhadap proses rekonstruksi di wilayah pedesaan seperti Al-Mansoura menunjukkan betapa timpangnya penanganan pascaperang di Suriah. Fokus bantuan dan pembangunan lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara desa-desa dibiarkan dalam kehancuran.
Sebagian warga bahkan mulai kehilangan harapan. Mereka berkata, “Kami dulu pengungsi di negeri orang, kini pengungsi di tanah sendiri.” Kalimat itu menggambarkan luka batin yang lebih dalam dari sekadar kehilangan rumah. Ini adalah krisis identitas bagi mereka yang ingin kembali, tapi tidak lagi menemukan tempat untuk disebut sebagai rumah.
Tanpa dukungan nyata dari lembaga negara dan internasional, upaya bertahan di Al-Mansoura bagaikan perjuangan melawan keputusasaan. Beberapa warga mencoba membangun kembali rumah dengan bahan seadanya, dari kayu bekas dan seng yang mereka kumpulkan. Namun badai pertama musim dingin mungkin akan meluluhlantakkan semuanya.
Para ibu menjadi simbol keteguhan. Mereka berusaha menjaga anak-anak tetap belajar meskipun tanpa sekolah. Buku-buku yang mereka temukan di reruntuhan disusun di dalam tenda, menjadi ruang kelas darurat di tengah debu dan dingin. Namun semangat itu tidak cukup jika tidak ada dukungan nyata dari dunia luar.
Apa yang terjadi di Al-Mansoura menggambarkan dilema besar pengungsi Suriah: pulang bukan berarti selamat. Dalam situasi tanpa listrik, air, dan rumah, kepulangan bisa berarti kembalinya penderitaan dalam bentuk baru. Krisis kemanusiaan belum berakhir, hanya berganti wajah.
Jika dunia internasional terus menutup mata terhadap nasib desa-desa seperti Al-Mansoura, maka tragedi kemanusiaan Suriah akan terus berulang dalam skala kecil di banyak tempat. Setiap kepulangan yang tak disertai rekonstruksi hanya akan melahirkan generasi baru pengungsi — kali ini di tanah mereka sendiri.
Kini, Al-Mansoura berdiri di antara dua masa: masa lalu yang hancur oleh perang, dan masa depan yang tak bisa dibangun tanpa uluran tangan. Para pengungsi yang kembali seolah berkata kepada dunia, “Kami pulang bukan untuk menyerah, tapi untuk hidup.” Namun tanpa bantuan dan perhatian, hidup yang mereka perjuangkan itu akan terus terperangkap di bawah tenda-tenda bobrok di atas puing-puing rumah mereka sendiri.