Harapan Baru Warga Kamp Bab al-Salama, Suriah

September 14, 2025

Warga kamp Bab al-Salama di pedesaan utara Aleppo, Suriah, kembali menghadapi ketidakpastian setelah muncul rencana penggusuran untuk perluasan perlintasan perbatasan. Proyek yang disebut bernuansa komersial ini menuntut ribuan keluarga mencari tempat tinggal baru, meski mereka baru saja berupaya menata hidup pasca gelombang pengungsian sebelumnya.

Bagi para pengungsi, Bab al-Salama bukan sekadar tempat tinggal sementara. Kamp ini telah menjadi simbol perjuangan, saksi bisu dari berbagai babak sejarah konflik Suriah, serta ruang bertahan hidup yang penuh keterbatasan. Sebagian besar penduduk melarikan diri ke sini sejak tahun 2016, ketika serangan udara dan darat meluluhlantakkan desa-desa mereka di Aleppo utara.

Kini, setelah hampir satu dekade bertahan, mereka diminta meninggalkan tenda dan rumah darurat yang sudah diperbaiki dengan susah payah. Pemerintah lokal menyiapkan relokasi ke lokasi baru berjarak antara 70 hingga 120 kilometer, sebuah jarak yang dianggap memberatkan bagi banyak keluarga.

Warga khawatir langkah ini akan memutus keterikatan mereka dengan tanah asal. Banyak yang berusaha memperbaiki rumah di desa-desa lama, namun kondisi ekonomi membuat hal itu nyaris mustahil. Tidak ada listrik, bahan bangunan mahal, dan energi alternatif seperti panel surya sulit dijangkau.

Sebagian pengungsi mengaku sudah menginvestasikan semua yang dimiliki untuk membangun kembali tempat tinggal di kamp Bab al-Salama. Jika digusur tanpa kompensasi, jerih payah bertahun-tahun akan hilang begitu saja. Mereka menuntut adanya solusi yang adil berupa ganti rugi tunai maupun perbaikan rumah di kampung asal.

Menurut warga, kompensasi bukan sekadar hak, melainkan jembatan untuk kembali ke kehidupan normal. Dengan dukungan pemerintah dan lembaga internasional, mereka berharap bisa membangun kembali desa-desa yang hancur dan perlahan meninggalkan status pengungsi.

Kamp Bab al-Salama sendiri bukan baru kali ini menghadapi ujian. Sejak awal berdirinya, tempat ini telah menjadi salah satu kamp pengungsi tertua di kawasan perbatasan Suriah–Turki. Puluhan tahun lalu, kamp ini juga pernah menampung warga Suriah yang terdampak konflik kecil maupun gelombang migrasi lintas batas.

Seiring perubahan zaman, Bab al-Salama bertransformasi dari sekadar tenda darurat menjadi perkampungan dengan bangunan semi permanen. Jalan setapak, sekolah darurat, hingga pasar kecil tumbuh seiring kebutuhan warganya. Namun, status hukum dan keterbatasan infrastruktur membuat kamp ini tetap rapuh menghadapi perubahan kebijakan.

Kini, proyek perluasan perlintasan perbatasan memberi tekanan baru. Bagi sebagian pihak, proyek ini dianggap penting demi kelancaran perdagangan lintas negara. Namun, bagi ribuan pengungsi, ini berarti kehilangan lagi apa yang sudah dibangun dengan susah payah.

Beberapa organisasi kemanusiaan menilai solusi terbaik adalah pendekatan berbasis hak. Artinya, pemerintah lokal dan pengelola proyek harus memastikan warga menerima kompensasi layak sebelum penggusuran dilakukan. Bentuknya bisa berupa bantuan tunai, pembangunan rumah permanen di desa asal, atau bahkan subsidi energi untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak.

Langkah seperti ini akan meminimalisasi trauma pengungsian berulang, sesuatu yang sudah terlalu sering dialami warga Suriah. Setiap kali dipaksa berpindah, anak-anak kehilangan sekolah, orang dewasa kehilangan pekerjaan, dan ikatan sosial terpecah.

Sejumlah warga menegaskan bahwa mereka tidak menolak pembangunan. Mereka memahami pentingnya stabilitas ekonomi di kawasan perbatasan. Namun, mereka menolak jika pembangunan dilakukan dengan mengorbankan kehidupan mereka tanpa solusi manusiawi.

Harapan mereka sederhana: bisa kembali ke desa dan kota asal dengan kondisi rumah yang layak dihuni. Jika hal itu tidak memungkinkan, setidaknya mereka ingin mendapat jaminan kehidupan yang lebih baik di tempat relokasi.

Sebagian besar warga juga menyerukan agar komunitas internasional ikut turun tangan. Dukungan lembaga kemanusiaan diharapkan mampu menekan pihak berwenang untuk tidak mengabaikan hak-hak dasar pengungsi.

Sejarah panjang Bab al-Salama membuktikan betapa tempat ini telah menjadi benteng terakhir bagi ribuan orang. Dari generasi ke generasi, kamp ini mengajarkan arti bertahan hidup dalam kondisi paling sulit.

Kini, di persimpangan nasib, masa depan kamp ini bergantung pada keputusan politik dan kebijakan ekonomi. Apakah warga akan kembali mengalami pengungsian panjang, atau justru mendapat kesempatan untuk pulang dengan bermartabat.

Kisah Bab al-Salama menjadi potret nyata betapa sulitnya perjalanan pengungsi Suriah. Lebih dari sekadar isu kemanusiaan, ini juga menjadi ujian moral bagi mereka yang memegang kendali atas proyek pembangunan.

Solusi terbaik hanya bisa terwujud jika ada keadilan dalam setiap langkah. Dengan ganti rugi yang memadai, kesempatan kembali membangun desa asal, dan penghormatan terhadap hak-hak pengungsi, maka Bab al-Salama bisa menutup satu babak penderitaan dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Jika tidak, sejarah panjang kamp ini hanya akan menambah catatan pilu tentang pengungsian yang tak berkesudahan. Bagi warga Bab al-Salama, saat ini adalah momen penting untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebelum terlambat.

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »