Keluar atau Bertahan: Dilema UAE di Yaman

Desember 30, 2025

Keputusan PLC Yaman untuk mengusir Uni Emirat Arab membuka spektrum skenario yang sangat lebar, mulai dari penarikan penuh seperti Prancis di Sahel hingga sikap bertahan dengan proksi sebagaimana dilakukan Amerika Serikat di Suriah. Semua preseden ini relevan, tetapi masing-masing membawa implikasi yang berbeda terhadap posisi Saudi, STC, dan masa depan Yaman itu sendiri.

Jika mengikuti model Prancis di Sahel, UAE secara teoritis bisa memilih mundur total demi menghindari biaya politik dan militer yang semakin tinggi. Dalam skenario ini, Saudi akan muncul sebagai aktor eksternal paling dominan, mirip peran Rusia yang mengisi kekosongan pasca-Prancis. Riyadh akan memiliki ruang lebih luas untuk mengatur keamanan Yaman selatan dan timur sesuai kepentingan perbatasannya.

Namun perbandingan ini memiliki kelemahan mendasar. Prancis di Sahel tidak memiliki proksi domestik sekuat STC atau pasukan Tariq Saleh. Penarikan Prancis juga terjadi karena hilangnya legitimasi total dan adanya alternatif mitra bagi pemerintah setempat. UAE di Yaman justru masih memiliki jaringan lokal yang solid dan relatif loyal.

Skenario kedua adalah mengikuti model Sudan, di mana UAE tetap bertahan melalui kemitraan dengan aktor non-negara seperti RSF. Dalam konteks Yaman, ini berarti memperdalam dukungan kepada STC dan Tariq Saleh meski secara formal hubungan dengan PLC memburuk. Pengalaman Sudan menunjukkan bahwa UAE cenderung memilih pendekatan ini jika kepentingan strategisnya masih bisa diamankan.

Jika model Sudan diterapkan, hubungan UAE–STC kemungkinan justru semakin kuat. Tekanan dari PLC dan Saudi bisa mendorong Abu Dhabi meningkatkan dukungan politik dan logistik sebagai bentuk perlindungan terhadap aset investasinya dan pengaruhnya di pesisir Yaman.

Skenario ketiga bahkan lebih menyerupai pendekatan Amerika Serikat di Suriah. Meski pemerintah Damaskus menuntut AS keluar, Washington tetap bertahan dengan dalih diundang oleh SDF—padahal AS berperan besar dalam membentuk dan membesarkan SDF itu sendiri. Di Yaman, UAE bisa menggunakan logika serupa dengan menyatakan kehadirannya sah karena adanya permintaan dari otoritas lokal de facto.

Dalam skenario ini, STC berfungsi sebagai “legitimator lokal” bagi kehadiran UAE, sama seperti SDF bagi AS. Secara hukum internasional memang lemah, tetapi dalam praktik konflik, legitimasi sering ditentukan oleh kontrol wilayah, bukan pengakuan formal.

Pertanyaan kunci kemudian: skenario mana yang paling rasional bagi UAE? Jika menilik kepentingan jangka panjangnya di Bab al-Mandab, Laut Arab, dan jalur perdagangan global, penarikan total ala Prancis justru paling merugikan UAE.

Berbeda dengan Prancis di Sahel, Yaman bukan perifer bagi strategi UAE. Ia adalah simpul maritim yang langsung terkait dengan keamanan pelabuhan Emirat dan ambisi logistik global Abu Dhabi. Ini menjadikan opsi bertahan jauh lebih menarik.

Saudi tentu menyadari dilema ini. Riyadh mungkin berharap penarikan UAE akan memperkuat posisinya, tetapi juga tahu bahwa ketiadaan UAE tidak otomatis berarti stabilitas. Saudi sendiri tidak memiliki jaringan pesisir seefektif UAE.

Jika UAE bertahan, Saudi kemungkinan akan memilih strategi pembatasan, bukan konfrontasi terbuka. Mereka akan fokus mengamankan Hadramaut dan Al-Mahra, sementara membiarkan UAE dan STC mengelola wilayah pesisir barat dan selatan.

Dalam kondisi ini, PLC akan semakin terjepit. Otoritasnya menyusut menjadi administratif semata di wilayah tertentu, tanpa kendali atas laut dan pelabuhan utama. Ini membuat ancaman fragmentasi semakin nyata.

Perilaku UAE di Sudan dan Suriah menunjukkan pola: jika memiliki mitra lokal kuat, UAE cenderung bertahan. Penarikan hanya terjadi jika biaya politik dan keamanan melampaui nilai strategis wilayah tersebut.

STC dan Tariq Saleh menyediakan semua yang dibutuhkan UAE untuk bertahan: legitimasi lokal, kekuatan bersenjata, dan kontrol wilayah strategis. Ini membuat skenario bertahan lebih masuk akal daripada mundur.

Sebaliknya, meniru Prancis di Sahel hanya mungkin jika UAE menilai bahwa bertahan akan memicu konflik langsung dengan Saudi. Selama Saudi masih memilih diplomasi dan tidak konfrontatif, insentif untuk mundur sangat kecil.

Karena itu, pernyataan PLC yang mengusir UAE lebih berfungsi sebagai deklarasi politik daripada pendorong perubahan nyata di lapangan. UAE memiliki pengalaman panjang beroperasi dalam lingkungan hukum dan politik yang abu-abu.

Dalam jangka menengah, kemungkinan besar kita akan melihat rebranding kehadiran UAE, bukan penarikan. Pasukan reguler mungkin dikurangi, tetapi dukungan kepada proksi diperkuat.

Kesimpulannya, dari tiga preseden—Sahel, Sudan, dan Suriah—yang paling mungkin diikuti UAE di Yaman adalah model Sudan atau Suriah, bukan Sahel. UAE akan tetap bertahan melalui STC dan Tariq Saleh, kecuali jika tekanan Saudi berubah dari diplomatik menjadi koersif.

Dengan demikian, kecuali Abu Dhabi memilih mengikuti jejak Prancis keluar dari Sahel demi kalkulasi geopolitik yang lebih besar, UAE hampir pasti akan tetap menjadi aktor kunci di Yaman, meski dalam bentuk yang berbeda dan lebih terselubung.

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »